Minggu, 20 Februari 2011

Mengenai cinta kita yang larut

Di semacam biasa pada senja yang selalu bersahabat dengan kita. Engkau mulai meyuguhiku dengan obrolan yang mulai menjadi cemilan wajib seiring kopi engkau tuangkan di gelasku yang tetap. Ritual keseharian sekedar pelepas penat setelah seharian bertemu denganmu hanya menjadi semacam percakapan telepon. Yah kita memang orang-orang sibuk dengan aktifitas padat dan kenapa aku selalu menyukai itu. Aku pikir dari pada bertemu denganmu di tiap detik lalu tentu saja timbul obrolan tidak penting dimana justru selalu memancing perbedaan di antar kita, ujung-ujungnya juga pertengkaran yang menjadi damai di ranjang. Aku suka kita menjadi orang sibuk saja.
Sore dengan kopi dan cemilan rasanrasan membuatku memahamimu sebagai rumusrumus einstin yang konstan, tidak berubah. Seingatku kita menjadi semacam ini semenjak aku pertama kali mengatakan bahawa engkau lah hatiku yang hilang, waktu kita tujuh belas tahun dulu dulu. Waktu dimana kita dikucilkan oleh jarak orang tua dan dunia remaja kita, cinta kita ingusan kata bapakmu dulu yang sekarang menjadi bapakku juga, hehehe. Aku juga masih ingat cinta ingusan kita justru terasa lebih rapi mirip susunan rak-rak buku di kamarku yang kau tata sedemikian rupa dari pada cinta kita sekarang. Dulu kita bisa dengan begitu saja menggantungkan citacita di atap rumah lamunan, namanya juga cinta ingusan
Mengenai cinta kita yang larut dimana apa saja menjadi sunyi di mata kita. Dan rindu yang tak lagi berjarak membuatku dapat menafsirmu sebagai apa saja. Kadang sebagai ibu, anak, istri kadang juga sebagai gelas kosong yang tertiup angin jatuh dan menimbulkan kegaduhan luar biasa sampai-sampai buah hati kita terbangun dan merengek minta tetek. Begitulah cinta kita yang larut oleh waktu, jarak dan terpenggal oleh ruangruang impian dan keabadian

Tidak ada komentar: