Sabtu, 03 September 2011

Sajak Pertemuan

Sudut kota mendengkur

Pagi dingin selepas malam syair

Tadi sebelum tidur aku bermimpi

Menemu merah delima di jalan aorta



Mengenai degup yang kau hujamkan di dadaku

Kini akarnya sampai ulu hati



Sempat sudah usia

Kegagapan jadi santapan



Di jantungku bersama debu dan jalanan

Dalam bus antar kota

Juga seorang kawan



Perbincangan ini sepertinya aliran darahku

Mengejang di sela kenangan yang kita singkap

Sembari bertafakkur merajut mimpi dalam bangun

Kamis, 09 Juni 2011

Ijiknak Aku Membunuhmu

Beri aku pisau
Beri aku pisau

-Segenggam logam aku pinjam
Dari sakit yang paling dalam
-

Bulan Sabit

Malam menerpa jogjakarta
Matahari
Semburat kuning di atapatap
Bohlam putih mengganti cahaya

Aku di bawah beranda

Amboi...
Bulan sabit
Bulan sabit
Seperti matamu yang sipit

Senin, 23 Mei 2011

Jarah

Jarah

Aku merindu kota sepi

Tat kala waktu

Datang seperti kereta

Lurus arus maju

Hanya kita berdua



Di seberang Rel berusia ratusan

Bantalanya adalah tubuh-tubuh orang tua kita

Sudah waktu berlari puluhan kilometer per jam

Bau anyir darah masih serupa



Aku merindu kota sepi

Gadis –gadis berdandan menor

Menawar diri

Kota

Sepi

Dimana kau kini?



Aku cari samapi lubang semut

Oh..kota sepi

Aku merindumu

Kamis, 28 April 2011

Nocturna

Bulan
gerimis ritmis
Mukanya memerah

Selasa, 29 Maret 2011

Soe Hok Gie dan Sastra

Berbicara tentang Soe Hok Gie tentu tidak bisa meninggalkan sastra.walau pun saat ini karya sastra Gie, yang kebanyakan puisi tidak menjadi ukuran dunia satra Indonesia. Gie dalam karyanya yang lain pun, entah itu esay, artikel atau opini umum hampir selalu menggunakan bahasa sastra. bagi saya ini merupakan taktik sikologis untuk bagaaimana pembaca tulisan Gie menjadi "kerasan" dan "terngiang" dan tentu saja amanat dalam tulisan tersebut masuk sampai sanubari pembaca tulisan Gie.

Gie dengan puisinya selalu menarik untuk di perbincangkan. Berkobar, halus dan dalam itu kesan pertama yang saya dapatkan ketika membaca tiga puis gie. berikut ini puisinya

Sebuah Tanya

Akhirnya semua akan tiba
Pada hari yang biasa
Pada suatu ketika
Yang tak pernah kita ketahui

Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku meminum susu dan tidur lelap
Sambil mebenarkan leher kemejaku

Kabut tipis pun turun pelanpelan di lembah kasi
Lembah mandala wangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan yang mulai suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin

Apakah kau masih membelaiku seperti dulu
Ketika ku dekap kau dekap lebih mesra
Lebih dekap
Apakah kau masih berkata
Ku dengar detak jantungmu

Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
Hari pun menjadi malam
Wajahwajah mulai muram
Wajahwajah yang tidak kita kenal
Berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti
Seperti kabut pagi itu

Karena kemanusiaan

Aku tak tau mengapa
Aku merasa melankoli mala mini
Aku melihat lampulampu kerucut
Dan lalu lintas Jakarta dengan warnawarna baru
Seolah-olah semuanya di terjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan
Semuanya terasa mesra
Tapi kosong
Seolah-olah aku merasa diriku yang lepas
Dan bayangbayang menjadi puitis sekali di jalanjalan

Perasaan yang amat kuat menguasaiku aku ingin memberikan rasa cinta kepada manusia.

Tentang Tujuan

Ada orang yang menghabiskan waktunya di mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya di miraza
Tapi aku ingin menghabiskan waktuku di sisimu sayangku
Bicara tentang anjinganjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bungabunga yang manis di lembah mandala wangi

Ada serdaduserdadu amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayibayi yang lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati disisimu manisku
Setelah kita bosan hidup dan bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang satu setanpun tak tahu

Mari sini sayangku
Kalian yang pernah mesra
Yang pernah baik padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung

Kita tak pernah menanam apa-apa
Kita tak pernah kehilangan apa-apa

Minggu, 06 Maret 2011

Akhir bulan delapan

Sudah dua malam aku mengkutuki diri sendiri
Bulan tetap di utara dengan senyum mengejek
Dan gerimis mengancam dengan ujungujung runcing
Menengok anak kecil pengemis stasiun kota
Sore kemarin
Kenapa harus ada tanggal tua?
Kenapa gaji di berikan awal bulan?
Dan kenapa tiap tanggal tigapuluh
Aku slalu tidak punya duit
lalu mengutuki diri sendiri seraya berdo’a
Tuhan jika memang Engkau ada
Matikan anak itu
Lahirkan kembali sebagai orang layak

Bulan Pecah di Jogjakarta

Bulan pecah di jogjakarta
Serpihannya serupa perak
mutiara muncul di pipimu yang santun
Setelah aku sampaikan maksutku
“pertemuan ini sebagai prasasti, aku akan meninggalkan tanah air selamanya”
Dan mutiara di pipimu mengalir serupa anak sungai sehabis hujan
Ingin aku mengambil wadah dan meneduhkannya di rindang pohon akasia
Seberang jalan.

Tangismu pecah
Menelan kesunyian jogja
Depan balai kota
Dan senin tibatiba saja menjadi selasa
Engkau mengelabui waktu
Menjadikan ruangruang basah
Dan aku besok tetap pergi

Minggu, 20 Februari 2011

Apakah Cinta Kita Utuh

-di balik remang malam
Di naungi hujan sayang
Aku bersamamu dalam bentuk lain
Walau hari ini kita tak pernah satu ruang
Aku bersamamu sayang
Lalu di malam ini apakah cinta kita utuh setelah aku bagi dengan Tuhan.
Sayang sembari menghitung rintik fikirkanlah cinta kita, cinta yang tersekat dinding tebal bernama agama. Dinding yang berdiri kokoh atas nama norma dan susila.

Sayang sanggupkah engkau dan aku merobohkan bangunan kemunafikan, bahwa kita memang saling mencintai?
Sayang benarkah kebersamaan kita adalah ruang, waktu yang padu?
Sayang apakah cinta kita utuh?

Mengenai cinta kita yang larut

Di semacam biasa pada senja yang selalu bersahabat dengan kita. Engkau mulai meyuguhiku dengan obrolan yang mulai menjadi cemilan wajib seiring kopi engkau tuangkan di gelasku yang tetap. Ritual keseharian sekedar pelepas penat setelah seharian bertemu denganmu hanya menjadi semacam percakapan telepon. Yah kita memang orang-orang sibuk dengan aktifitas padat dan kenapa aku selalu menyukai itu. Aku pikir dari pada bertemu denganmu di tiap detik lalu tentu saja timbul obrolan tidak penting dimana justru selalu memancing perbedaan di antar kita, ujung-ujungnya juga pertengkaran yang menjadi damai di ranjang. Aku suka kita menjadi orang sibuk saja.
Sore dengan kopi dan cemilan rasanrasan membuatku memahamimu sebagai rumusrumus einstin yang konstan, tidak berubah. Seingatku kita menjadi semacam ini semenjak aku pertama kali mengatakan bahawa engkau lah hatiku yang hilang, waktu kita tujuh belas tahun dulu dulu. Waktu dimana kita dikucilkan oleh jarak orang tua dan dunia remaja kita, cinta kita ingusan kata bapakmu dulu yang sekarang menjadi bapakku juga, hehehe. Aku juga masih ingat cinta ingusan kita justru terasa lebih rapi mirip susunan rak-rak buku di kamarku yang kau tata sedemikian rupa dari pada cinta kita sekarang. Dulu kita bisa dengan begitu saja menggantungkan citacita di atap rumah lamunan, namanya juga cinta ingusan
Mengenai cinta kita yang larut dimana apa saja menjadi sunyi di mata kita. Dan rindu yang tak lagi berjarak membuatku dapat menafsirmu sebagai apa saja. Kadang sebagai ibu, anak, istri kadang juga sebagai gelas kosong yang tertiup angin jatuh dan menimbulkan kegaduhan luar biasa sampai-sampai buah hati kita terbangun dan merengek minta tetek. Begitulah cinta kita yang larut oleh waktu, jarak dan terpenggal oleh ruangruang impian dan keabadian

Jumat, 21 Januari 2011

Lakilaki Rahim Ibu

Di ruangruang tak beratap

Aku letakkan keniscayaan

Tentang hujan yang aku ukir atas namamu

Dan tanahtanah kering yang hampir putus asa



Lalu lampulampu jalan mulai padam

Isyarat pagi sudah datang

Dan tetap saja hujan yang aku ukir atas namamu

Meninggalkan jejak kerinduan



Aku bersajak

sebagai

lakilaki

lahir dari rahim ibu

Teruntuk Adinda

lamatlamat perasaanku meruncing

berkehendak menikam kesabaran

rembulan menjadi perak lalu tangismu mencekam keheningan

lamatlamat perasaanku menumpul memupuk kesabaran

angin

laut

rintik

badai

menerjemahkan luka

menusuk ulu hati

di rendarenda kerudung tanda hijab yang kau kenakan tadi malam aku menaruh pesan "besok pagipagi sekali pergilah ke kebun belakang rumah, petikan aku beberapa kuntum melati agar bisa selalu menghadirkanmu dalam tiap sepi"

lalu di bilah masih rindu yang biasa kita tiduri, seekor kucing melirik padaku dan berkata "berangkatlah tidur esok pagi masih ada hari". seterusnyadi garis kertas tulisaku mengeja namamu dengan enam huruf kapitalbesarbesar lampu padam. Pada hari yang lain di selasela rindu padamu malam ini.aku selipkan doadoa masa tua, tentang tanah sebidang dan rumah sederhana

Lalu namamu memenggal sepi, penyakit yang aku derita dua tahun ini.