Aku berasal dari rindu
Yang begitu menggebu hingga membatu
Rindu
Yang engkau hujamkan sebagai
Mata
Angin
Siang
Bolong
Malam
Buta
Takdir sial
Pisau
Tajam
Aku berasal dari rindu mu
Jumat, 08 Oktober 2010
Sabtu, 02 Oktober 2010
Gadis Sore Pengaduk Kopi
pelataran luruh
pohon jambu biji lapuk
metafora kawis
sekelebat alis tebal dengan bibir merah bergincu
blues merah jambu
berjilbab agak ragu
melirik dengan jutaan arti
matanya yang sedikit cekung taanda kurang tidur
habis semalam sibuk melayani suami
gadis sore mengaduk kopi
pohon jambu biji lapuk
metafora kawis
sekelebat alis tebal dengan bibir merah bergincu
blues merah jambu
berjilbab agak ragu
melirik dengan jutaan arti
matanya yang sedikit cekung taanda kurang tidur
habis semalam sibuk melayani suami
gadis sore mengaduk kopi
Rabu, 23 Juni 2010
Segenggam daun di telapak kirimu
Aku rasa gugusan jati pada jalan setapak yang sering kita lalui
Sedikit meremah atau bahkan sudah punah
Saat itu selasa
Tampa matahari dan sedikit gerimis yang kismis
Lalu aku memayungimu
Dengan selembar daun pisang pada kebun sekitar
Lima ratus detik kemudian aku menyadari
Telapak kananmu menyadurku
Sedang
Segenggam daun di telapak kirimu
Sedikit meremah atau bahkan sudah punah
Saat itu selasa
Tampa matahari dan sedikit gerimis yang kismis
Lalu aku memayungimu
Dengan selembar daun pisang pada kebun sekitar
Lima ratus detik kemudian aku menyadari
Telapak kananmu menyadurku
Sedang
Segenggam daun di telapak kirimu
Minggu, 21 Februari 2010
tiga sajak,( tentang aku,dinda dan maret)
Tiga yang Sakral
Bulan ke tiga tahun ini
Minggu ke sekian perjamuan kita
Walau hampir tampa kata
Dalam naungan hujan
yang sudah lagi tak di hendaki
kita lantunkan puisi-puisi tentang hati
Rindu ke Tiga
di balut sedikit grimis yang kismis
rinduku tumbuh subur dalam relung cintamu
haiku
haiku
langkah tangan bersamamu
haiku haiku
Tiga Lembayun
akan aku wakilkan pada tiga
biar sekian waktu tak lagi mengkaku
larik buih hasil persetubuhan kata kita
akan segera menjadi ombak asa
menerpa karang haling
menyisir pasir kehidupan
tiga lembayun
masih pada senja
cukup aku kamu dan Dia
Bulan ke tiga tahun ini
Minggu ke sekian perjamuan kita
Walau hampir tampa kata
Dalam naungan hujan
yang sudah lagi tak di hendaki
kita lantunkan puisi-puisi tentang hati
Rindu ke Tiga
di balut sedikit grimis yang kismis
rinduku tumbuh subur dalam relung cintamu
haiku
haiku
langkah tangan bersamamu
haiku haiku
Tiga Lembayun
akan aku wakilkan pada tiga
biar sekian waktu tak lagi mengkaku
larik buih hasil persetubuhan kata kita
akan segera menjadi ombak asa
menerpa karang haling
menyisir pasir kehidupan
tiga lembayun
masih pada senja
cukup aku kamu dan Dia
Kamis, 11 Februari 2010
Berpuisilah Tuan dan Nonya
Makin hari makin puisi
Tuan dan nyonya
Berpuisilah hati
Kepala
Lidah
Dan kaki
Tapi hati tetap sakti
Tuan dan nyonya
Tentang jalanan yang selalu rusak
Tentang nasi aking yang terlampau sering jadi usapan
Makin hari makin puisi
Tuan dan nyonya
Berpuisilah hati
Kepala
Lidah
Dan kaki
Tapi hati tetap sakti
Tuan dan nyonya
Tentang jalanan yang selalu rusak
Tentang nasi aking yang terlampau sering jadi usapan
Makin hari makin puisi
Rabu, 03 Februari 2010
Bualan Hujan Pada Aspal
Hujan tak lagi memangkuku diatas pelaminnya,
sebab angin mengusir beberapa jejaknya.
kini bumi ku menangis merindu rintik ramu
rintik yang biasa menjadi penghibur di kala gersang ialalang
sebagai pengusir sembab purau radang
Hujan
Jika kini kau bisa merintik lagi menghibur bumi
Mangkuk rinduku akan segera terisi sesak embun kalbu
Biar basah bibir-bibirnya
Hujan
Jikalah tidak
Cukuplah mendung penghiburanku mampir sekedar sapa ramu
Menengok bungkuk mangkuk rindu
Menyajikan angin sendu
Agar detik hari tak lagi kaku
sebab angin mengusir beberapa jejaknya.
kini bumi ku menangis merindu rintik ramu
rintik yang biasa menjadi penghibur di kala gersang ialalang
sebagai pengusir sembab purau radang
Hujan
Jika kini kau bisa merintik lagi menghibur bumi
Mangkuk rinduku akan segera terisi sesak embun kalbu
Biar basah bibir-bibirnya
Hujan
Jikalah tidak
Cukuplah mendung penghiburanku mampir sekedar sapa ramu
Menengok bungkuk mangkuk rindu
Menyajikan angin sendu
Agar detik hari tak lagi kaku
Semayam Mantra Sang Tukang
masa dan seongok ruang yang aku tinggalkan.
menyisakan buih hitam menggiring pelipis kananku ke tepi jurang pembaharuan
Pisau-pisaumu yang berlumur darahku dan darah kawanku kini suci di cuci pujian.Padahal bekas luka sekujur hasratku dan kawanku masih masih terbenam dalam,kalo mereka bisa berteriak kau pasti akan terusik diantar tidur dan hidupmu.
Hai Bangsa T
Puluh puih keringatku tercurah diantara pencakar langitmu
Regangan otot bisepku terselip dalam susunan bata merahmu
camkan dan dengarkan
Hujatan-hujatan dalam kepala kami kini telah sampai pada kepal kiri kami
sampai nanti kaki kami melangkah,akan kami cerabut kembali hak-hak rampasanmu dalam perang silat lidahmu
menyisakan buih hitam menggiring pelipis kananku ke tepi jurang pembaharuan
Pisau-pisaumu yang berlumur darahku dan darah kawanku kini suci di cuci pujian.Padahal bekas luka sekujur hasratku dan kawanku masih masih terbenam dalam,kalo mereka bisa berteriak kau pasti akan terusik diantar tidur dan hidupmu.
Hai Bangsa T
Puluh puih keringatku tercurah diantara pencakar langitmu
Regangan otot bisepku terselip dalam susunan bata merahmu
camkan dan dengarkan
Hujatan-hujatan dalam kepala kami kini telah sampai pada kepal kiri kami
sampai nanti kaki kami melangkah,akan kami cerabut kembali hak-hak rampasanmu dalam perang silat lidahmu
Senin, 25 Januari 2010
Bualan Hujan Pada Aspal
Hujan tak lagi memangkuku diatas pelaminnya,
sebab angin mengusir beberapa jejaknya.
kini bumi ku menangis merindu rintik ramu
rintik yang biasa menjadi penghibur di kala gersang ialalang
sebagai pengusir sembab purau radang
Hujan
Jika kini kau bisa merintik lagi menghibur bumi
Mangkuk rinduku akan segera terisi sesak embun kalbu
Biar basah bibir-bibirnya
Hujan
Jikalah tidak
Cukuplah mendung penghiburanku mampir sekedar sapa ramu
Menengok bungkuk mangkuk rindu
Menyajikan angin sendu
Agar detik hari tak lagi kaku
sebab angin mengusir beberapa jejaknya.
kini bumi ku menangis merindu rintik ramu
rintik yang biasa menjadi penghibur di kala gersang ialalang
sebagai pengusir sembab purau radang
Hujan
Jika kini kau bisa merintik lagi menghibur bumi
Mangkuk rinduku akan segera terisi sesak embun kalbu
Biar basah bibir-bibirnya
Hujan
Jikalah tidak
Cukuplah mendung penghiburanku mampir sekedar sapa ramu
Menengok bungkuk mangkuk rindu
Menyajikan angin sendu
Agar detik hari tak lagi kaku
Senin, 11 Januari 2010
Senandung Angka
Delapan tiga puluh aku kembali berjumpa,tetap dengan empat puluh delapan pasang mata,tapi dengan angan yang tidak sama.sedangkan daun jendela tampak bertambah sedikit.kali ini bukan lagi nyanyian jati diri lagi,hanya seongok daging yang lebih mirip kepala,mencoba lepas dari ikatan dunia.dan bukan sendangkep yang ku tangkap,melainkan gerakan tangan-tangan liar sebagai penghibuaran atas ketertindasan
Bangku Setengah Lingkaran
Kembali lagi musim kami setelah beberapa saat tak bersua karena waktu berujar “kalian harus pulang”. Kami kira setengah itu sudah penuh karena kontaminasi ideology,tapi kau tetap setia dengan kami. Kalau pun setengah itu mati,mau kemana kami.
Konsistensimu akan kami imbangi dengan eksistensi kami,semoga setengah lingkaranmu tetap utuh sampai anak cucu kami
Jogjakarta, 18 oktober 2009
Konsistensimu akan kami imbangi dengan eksistensi kami,semoga setengah lingkaranmu tetap utuh sampai anak cucu kami
Jogjakarta, 18 oktober 2009
Malam Seberang Tugu
tegar kau berdiri disamping tugu,ditemani kemuningnya lampu .sendiri lagi kau suarakan hak kaum sayak.kawan kau disitu lantang mengoyak nurani,sedang aku hanya menikmati tenangnya suara birokrasi.gemuruh dinding etalase seakan tertawa diatas ketertindasan,buruh bergeruyung dimakan kapitalisme.dan 5 orang bersama engkau hanya bisa diam tak berlaku tangan,berusaha menikmati kopi angkringan pojok walau hanya sebentar.
Langganan:
Postingan (Atom)